Sejarah dan Asal Usul Pembangunan Berdirinya Monas (Monumen Nasional)

 warisan nusantara monas saveXpalaguna


Menomen ini terletak persis di Pusat Kota Jakarta. Tugu Monas merupakan tugu kebanggaan bangsa Indonesia, selain itu monas juga menjadi salah satu pusat tempat wisata dan pusat pendidikan yang menarik bagi warga Indonesa baik yang dijakarta maupun di luar Jakarta. Tujuan pembangunan tugu monas adalah untuk mengenang dan mengabadikan kebesaran perjuangan Bangsa Indonesia yang dikenal dengan Revolusi 17 Agustus 1945, dan juga sebagai wahana untuk membangkitkan semangat patriotisme generasi sekarang dan akan datang.


Monas mulai dibangun pada bulan Agustus 1959. Keseluruhan bangunan Monas dirancang oleh para arsitek Indonesia yaitu Soedarsono, Frederich Silaban dan Ir. Rooseno. Pada tanggal 17 Agustus 1961, Monas diresmikan oleh Presiden Soekarno. Dan mulai dibuka untuk umum sejak tanggal 12 Juli 1975.

Tugu Monas punya ciri khas tersendiri, sebab arsitektur dan dimensinya melambangkan kias kekhususan Indonesia. Bentuk yang paling menonjol adalah tugu yang menjulang tinggi dan pelataran cawan yang luas mendatar. Di atas tugu terdapat api menyala seakan tak kunjung padam, melambangkan keteladanan semangat bangsa Indonesia yang tidak pernah surut berjuang sepanjang masa.

 http://satupedang.blogspot.com/2015/08/sejarah-pembangunan-monas-monumen.html

Bentuk dan tata letak Monas yang sangat menarik memungkinkan pengunjung dapat menikmati pemandangan indah dan sejuk yang memesona, berupa taman di mana terdapat pohon dari berbagai provinsi di Indonesia. Kolam air mancur tepat di lorong pintu masuk membuat taman menjadi lebih sejuk, ditambah dengan pesona air mancur bergoyang.

Di dekat pintu masuk menuju pelataran Monas itu juga nampak megah berdiri patung Pangeran Diponegoro yang sedang menunggang kuda. Patung yang terbuat dari perunggu seberat 8 ton itu dikerjakan oleh pemahat Italia, Prof Coberlato sebagai sumbangan oleh Konsulat Jendral Honores, Dr Mario di Indonesia.

Gagasan awal pembangunan Monas muncul setelah sembilan tahun kemerdekaan diproklamirkan. Beberapa hari setelah peringatah HUT ke-9 RI, dibentuk Panitia Tugu Nasional yang bertugas mengusahakan berdirinya Tugu Monas. Panitia ini dipimpin Sarwoko Martokusumo, S Suhud selaku penulis, Sumali Prawirosudirdjo selaku bendahara dan dibantu oleh empat orang anggota masing-masing Supeno, K K Wiloto, E F Wenas, dan Sudiro.

http://satupedang.blogspot.com/Panitia yang dibentuk itu bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pembangunan Monas yang akan didirikan di tengah lapangan Medan Merdeka, Jakarta . Termasuk mengumpulkan biaya pembangunannya yang harus dikumpulkan dari swadaya masyarakat sendiri.

Setelah itu, dibentuk panitia pembangunan Monas yang dinamakan ”Tim Yuri” diketuai langsung Presiden RI Ir Soekarno. Melalui tim ini, sayembara diselenggarakan dua kali. Sayembara pertama digelar pada 17 Februari 1955, dan sayembara kedua digelar 10 Mei 1960 dengan harapan dapat menghasilkan karya budaya yang setinggi-tingginya dan menggambarkan kalbu serta melambangkan keluhuran budaya Indonesia.

Dengan sayembara itu, diharapkan bentuk tugu yang dibangun benar-benar bisa menunjukan kepribadian bangsa Indonesia bertiga dimensi, tidak rata, tugu yang menjulang tinggi ke langit, dibuat dari beton dan besi serta batu pualam yang tahan gempa, tahan kritikan jaman sedikitnya seribu tahun serta dapat menghasilkan karya budaya yang menimbulkan semangat kepahlawanan.

Oleh Tim Yuri, pesan harapan itu dijadikan sebagai kriteria penilaian yang kemudian dirinci menjadi lima kriteria meliputi harus memenuhi ketentuan apa yang dinamakan Nasional, menggambarkan dinamika dan berisi kepribadian Indonesia serta mencerminkan cita-cita bangsa, melambangkan dan menggambarkan “api yang berkobar” di dalam dada bangsa Indonesia, menggambarkan hal yang sebenarnya bergerak meski tersusun dari benda mati, dan tugu harus dibangun dari benda-benda yang tidak cepat berubah dan tahan berabad-abad.

Namun, dua kali sayembara digelar, tidak ada rancangan yang memenuhi seluruh kriteria yang ditetapkan panitia. Akhirnya, ketua Tim Yuri menunjuk beberapa arsitek ternama yaitu Soedarsono dan Ir F Silaban untuk menggambar rencana tugu Monas. Keduanya arsitek itu sepakat membuat gambarnya sendiri-sendiri yang selanjutnya diajukan ke ketua Tim Yuri (Presiden Soekarno), dan ketua memilih gambar yang dibuat Soedarsono.

Dalam rancangannya, Soedarsono mengemukakan landasan pemikiran yang mengakomodasi keinginan panitia. Landasan pemikiran itu meliputi kriteria Nasional. Soedarsono mengambil beberapa unsur saat Proklamasi Kemerdekaan RI yang mewujudkan revolusi nasional sedapat mungkin menerapkannya pada dimensi arsitekturnya yaitu angka 17, 8, dan 45 sebagai angka keramat Hari Proklamasi.

 http://satupedang.blogspot.com/

Bentuk tugu yang menjulang tinggi mengandung falsafah “Lingga dan Yoni” yang menyerupai “Alu”sebagai “Lingga” dan bentuk wadah (cawan-red) berupa ruangan menyerupai “Lumpang” sebagai “Yoni”. Alu dan Lumpang adalah dua alat penting yang dimiliki setiap keluarga di Indonesia khususnya rakyat pedesaan. Lingga dan Yoni adalah simbol dari jaman dahulu yang menggambarkan kehidupan abadi, adalah unsur positif (lingga) dan unsur negatif (yoni) seperti adanya siang dan malam, laki-laki dan perempuan, baik dan buruk, merupakan keabadian dunia.

Bentuk seluruh garis-garis arsitektur tugu ini mewujudkan garis-garis yang bergerak tidak monoton merata, naik melengkung, melompat, merata lagi, dan naik menjulang tinggi, akhirnya menggelombang di atas bentuk lidah api yang menyala. Badan tugu menjulang tinggi dengan lidah api di puncaknya melambangkan dan menggambarkan semangat yang berkobar dan tak kunjung padam di dalam dada bangsa Indonesia.

Pembangunan tugu Monas dilaksanakan melalui tiga tahapan yaitu tahap pertama (1961-1965), kedua (1966-1968), dan tahap ketiga (1969-1976). Pada tahap pertama pelaksanaan pekerjaannya dibawah pengawasan Panitia Monumen Nasional dan biaya yang digunakan bersumber dari sumbangan masyarakat.
Tahap kedua pekerjaannya masih dilakukan dibawah pengawasan panitia Monas. Hanya saja, biaya pembangunannya bersumber dari Anggaran Pemerintah Pusat c.q Sekertariat Negara RI. Pada tahap kedua ini, pembangunan mengalami kelesuan, karena keterbatasan biaya.

Tahap ketiga pelaksanaan pekerjaan berada dibawah pengawasan Panitia Pembina Tugu Nasional, dan biaya yang digunakan bersumber dari Pemerintah Pusat c.q Direktorat Jenderal Anggaran melalui Repelita dengan menggunakan Daftar Isian Proyek (DIP).

Ruang museum sejarah yang terletak tiga meter dibawah permukaan halaman tugu memiliki ukuran 80X80 meter. Dinding serta lantai di ruang itu pun semuanya dilapisi batu marmer. Di dalam ruangan itu, pengunjung disajikan dengan 51 jendela peragaan (diorama) yang mengabadikan sejarah sejak jaman kehidupan nenek moyang bangsa Indonesia, perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia hingga masa pembangunan di jaman orde baru. Di ruangan ini pula, pengunjung juga dapat mendengar rekaman suara Bung Karno saat membacakan Proklamasi.

 http://satupedang.blogspot.com/

Ruang Kemerdekaan
Sementara di ruang kemerdekaan yang berbentuk amphitheater terletak di dalam cawan tugu, terdapat empat atribut kemerdekaan meliputi peta kepulauan Negara RI , Lambang Negara Bhinneka Tunggal Ika, dan pintu Gapura yang berisi naskah Proklamasi Kemerdekaan.

Di pelataran puncak tugu yang terletak pada ketinggian 115 meter dari halaman tugu memiliki ukuran 11X11 meter, pengunjung dapat mencapai pelataran itu dengan menggunakan elevator (lift-red) tunggal yang berkapasitas sekitar 11 orang.

Di pelataran yang mampu menampung sekitar 50 orang itu juga disediakan empat teropong di setiap sudut, dimana pengunjung bisa melihat pemandangan Kota Jakarta dari ketinggian 132 meter dari halaman tugu Monas.

Lidah api yang terbuat dari perunggu seberat 14,5 ton dengan tinggi 14 meter dan berdiameter 6 meter, terdiri dari 77 bagian yang disatukan. Seluruh lidah api dilapisi lempengan emas seberat 35 kilogram, dan kemudian pada HUT ke-50 RI, emas yang melapisi lidah api itu ditambah menjadi 50 kilogram.


Sumber : http://satupedang.blogspot.com/2015/08/sejarah-pembangunan-monas-monumen.html

Bioskop Pertama di Indonesia berada di Sebuah Rumah


Seluruh masyarakat Indonesia, bahkan di dunia yang tinggal di kota-kota besar pasti pernah mengunjungi bioskop untuk menonton film. Masyarakat pun sangat terhibur dengan tayangan-tayangan berkualitas dan layanan bioskop yang membuat para visitor nyaman.

Di Indonesia, antusiasme masyarakat untuk pergi ke bioskop bisa dilihat pada akhir pekan, dan pada film midnight (tengah malam) yang diadakan setiap Sabtu malam.

Bioskop pertama di Indonesia berdiri pada Desember tahun 1900, di Jalan Tanah Abang 1, Kebon Jahe, Jakarta Pusat. Namun Bioskop ini bukan didirikan di sebuah gedung, tapi di sebuah rumah.

Bioskop yang didirikan oleh orang Belanda itu mematok harga tiket sebesar 2 Gulden (perak) untuk kelas 1 dan harga kelas dua hanya setengah Gulden. Harga yang cukup mahal mengingat harga setengah Gulden saja setara dengan 10 kg beras ketika itu.

Warga Jakarta saat itu disuguhkan dengan film tidak berbicara alias bisu yang berjudul "Sri Baginda Maharatu Belanda bersama Pangeran Hertog Hendrick memasuki Ibu Kota Belanda, Den Haag". Film berwarna hitam-putih ini di hanya diiringi musik sepanjang film berlangsung.

Setelah itu, bioskop sudah menayangkan film hitam-putih itu di dalam gedung-gedung. Pada tahun 1901 berdiri bioskop di kawasan Gambir, bangunan bioskop masih menyerupai bangsal dengan dinding terbuat dari gedek dan beratapkan seng.

Bangunan ini tidak dibuat permanen karena setelah film diputar maka pengusaha film itu akan memutar filmnya di luar kota dan berkeliling ke kota-kota lainnya. Biokop ini dikenal dengan nama Talbot yang notabene adalah nama pemilik dari bioskop tersebut.

Seorang pengusaha lainnya yang bernama Schwarz mendirikan bioskop di kawasan di Jalan Kebon Jahe, Tanah Abang. Namun nahas, bioskop itu hangus terbakar setelah mengalami kecelakaan dan akhirnya pindah ke sebuah gedung di daerah Pasar Baru.

Tahun 1903, muncul bioskop-bioskop lainnya di Deca Park yang bernama Jules Francois de Calonne. De Calonee ini berbeda dengan bioskop lainnya, pemutaran film ini diputar di lapangan terbuka atau yang biasa disebut 'misbar' alias gerimis bubar.

Bioskop lainnya yang mulai menjamur seperti Elite di Pintu Air, Rex di Kramat Bunder, Cinema di Krekot, Centraal di Jatinegara, Rialto di Senen dan Tanah Abang, Surya di Tanah Abang, Thalia di Hayam Wuruk, Orion di Glodok, Al Hambra di Sawah Besar, Oost Java di Jalan Veteran, Widjaja di Jalan Pasar Ikan, Rivoli di Kramat, dan lainnya.

Sampai akhirnya di tahun 1951 diresmikan bioskop Metropole yang berkapasitas 1.700 tempat duduk, berteknologi ventilasi peniup dan penyedot, bertingkat tiga dengan ruang dansa dan kolam renang di lantai paling atas. 

Bioskop ini pernah berubah nama menjadi bioskop Megaria sebelum pada tahun 2008 berubah kembali menjadi Metropole.

Pada tahun 1987 bioskop mulai berkonsep sinepleks atau gedung bioskop dengan lebih dari satu layar. Sinepleks ini biasanya berada di titik-titik keramaian seperti di mall, restoran, pusat perbelanjaan, dan pertokoan.

Pada tahun 2000-an bioskop ini makin marak di Indonesia. Pengelola terbesarnya yaitu 21 Cineplex dengan bioskop 21 dan XXI, dan satunya lagi dikelola oleh the premiere. Bioskop ini tersebar di seluruh nusantara.

Dari situ lah industri perfilman dari tahun ke tahun mengalam perkembangan yang sangat signifikan. Masyarakat yang penat bekerja dan ingin menyegarkan pikirannya datang ke bioskop bersama keluarga atau dengan teman-temannya. [did]

Palaguna Plaza, Mall Modern dan penggunaan Escalator pertama di Bandung


Bangunan di sebelah timur alun-alun Bandung ini semula merupakan gedung bioskop Varia, Elita dan Oriental. Dibangun pada masa kolonial Belanda hingga akhirnya berubah pada pertengahan tahun 1980-an menjadi Palaguna Plaza. Sisa bioskop tersisa yang bisa ditemui di selatan alun-alun adalah Radio city, yang kita kenal sekarang bernama bioskop Dian.
Tempat  ini merupakan pusat perbelanjaan modern pertama yang  mulai beroperasi  pertengahan tahun 1980-an. Gedung ini terdiri dari empat lantai, dilengkapi dengan escalator pertama di kota Bandung, lantai 1 diisi pedagang kain, pakaian, sepatu, tas, lukisan dan batu akik.
Sedangkan lantai 2 beroperasi Matahari Dept. Store. Di lantai 3 ada bioskop Nusantara dan Palaguna, Hero Super Market dan restoran cepat saji CFC. Pada lantai paling atas tempat bermain sepatu roda kemudian berubah jadi Timezone. Lantai basement untuk tempat parkir dan terdapat sumur Bandung sebagai situs sejarah berdirinya kota Bandung.
Pada saat itu Palaguna Plaza menjadi tujuan warga Bandung dan sekitarnya untuk belanja, menonton film  bioskop, makan, atau sekedar jalan-jalan. Tempat ini juga sempat dipakai syuting film Kabayan Saba Kota.
Saya sempat mengalami masa keemasan tempat ini, dimana ketika Matahari menjadi tujuan belanja, terutama menjelang Idul Fitri banyak pengunjung. Bahkan, dari pinggiran Bandung banyak yang datang ke sini untuk menonton film pilihannya di bioskop.
Ada dua bioskop yang di gedung tersebut. Pertama, Nusantara Theater yang memutar film-film baru dari Holywood, dan satu lagi adalah Palaguna Theater yang memutar film-film dalam negeri dan Bollywod.  Keduanya  selalu dipenuhi penonton pada tahun 90-an. Harga tiket Nusantara Theater Rp 1.500, terakhir saya nonton di sini  tahun 2006 tiketnya hanya Rp 8.000, dengan jumlah penonton kurang dari 10 orang.
Selain film, restoran pun tak luput dari incaran pengunjung, bahkan untuk menikmati ayam goreng di CFC pengunjung rela antri sampai keluar restoran. Lantai 4 dipakai tempat nongkrong serta tempat gaul anak muda tahun 1980-an awal sampai 1990-an. Lantai dasar sempat berjaya sebagai tempat penjual handphone dan kartu sim sampai awal tahun 2000-an
Berjalannya waktu, mulai banyak tempat-tempat sejenis di Bandung. Pengunjung mulai berkurang, satu persatu pedagang menutup tokonya. Sebagian pindah ke tempat sejenis yang banyak bermunculan, seperti Hero Supermarket serta Time Zone.
Puncaknya, ketika tahun 2007 Matahari Dept. Store tutup dari Palaguna Plaza. Tempat ini semakin sepi dari pengunjung. Akhirnya  Nusantara dan Palaguna Theater tutup. Pedagang yang masih bertahan hanya di lantai dasar yang diisi pedagang pakaian dan batu akik hingga bulan Juni 2014.
Sumber foto: Iman Klunkerz
http://www.buruan.co/runtuhnya-kejayaan-palaguna-plaza/

tags:

gelar aksi saveXpalaguna, gedung eks palaguna, eks palaguna bukan RTH, ex palaguna jadi bandung icons, demo gedung eks palaguna, komunitas dan seniman savexpalaguna, eks palaguna beda sama baksil, sejarah palaguna dulu adalah mall, kawasan eks palaguna komersil, ex palaguna sesuai peraturan, eks palaguna bandung modern, ex palaguna, saveXpalaguna jadikan bandung icon, savexpalaguna bukan RTH.

Museum Radya Pustaka, museum pertama di Indonesia


Museum Radya Pustaka dibangun pada tanggal 28 Oktober 1890 oleh Kanjeng Adipati Sosrodiningrat IV, Pepatih Dalem pada masa pemerintahan Paku Buwono IX dan Paku Buwono X terletak di jalan protokol Slamet Riyadi, dikompleks Taman Wisata Budaya Sriwedari, Surakarta.

Pengurus Paheman Radya Pustaka menandai penghargaan terhadap pemrakarsa pendirian museum ini dengan mengabadikan nama kecilnya, pada gedung sebelah timur museum dengan nama WALIDYASANA,gabungan dari kata Walidi dan Asana (tempat). Gedung ini tanahnya dibeli oleh Sri Susuhunan Paku Buwana X senilai 65 Ribu Gulden Belanda dari Johanes Busselaar dengan akta notaris 13/VII tahun 1877 nomor 10 tanaheigendom. Untuk menghargai K.R.A. Sosrodingrat IV, maka dibuatkan patungnya yang ditempatkan di tengah museum yang dulu dikenal sebagai Loji Kadipolo.

Barang-barang pengisi museum banyak berasal dari Karaton Kasunanan Surakarta, Kepatihan, dari hasil pembelian, dari G.P.H. Hadiwijaya, dan sumbangan partisipan lainnya.

Di museum ini tersimpan koleksi benda-benda kuno yang mempunyai nilai seni dan sejarah yang tinggi, antara lain : beberapa arca batu dan perunggu dari zaman Hindhu dan Budha. Koleksi keris kuno dan berbagai senjata tradisional, seperangkat gamelan, wayang kulit dan wayang beber, koleksi keramik dan berbagai barang seni lainnya.

Stasiun Kereta Api pertama di Indonesia: NIS di Semarang berada di Tambaksasi (Kemijen)


Sejarah perkeretaapian di Indonesia diawali dengan pencangkulan pertama pembangunan jalan kereta api di Semarang, Jumat tanggal 17 Juni 1864, oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, LAJ Baron Sloet van den Beele. Pembangunan diprakarsai oleh “Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij” (NV NISM) yang dipimpin oleh JP de Bordes dari Samarang menuju desa Tanggung (26 kilometer) dengan lebar sepur 1435 milimeter. Ruas jalan ini dibuka untuk angkutan umum hari Sabtu, 10 Agustus 1867.
Perkeretaapian di Indonesia adalah negara kedua di Asia (setelah India) yang mempunyai jaringan kereta api tertua. Cina dan Jepang baru menyusul kemudian. Setelah Tanam Paksa (1830-1850), hasil pertanian di Jawa tidak lagi sekadar untuk memenuhi kebutuhan sendiri tapi juga untuk pasar internasional. Karena itu diperlukan sarana transportasi untuk mengangkut hasil pertanian dari pedalaman ke kota-kota pelabuhan. Yang ada waktu itu hanya Jalan Raya Pos yang dirasa sudah tidak memadai lagi, sehingga muncul gagasan untuk membangun jalan kereta api. Namun, tidak semua orang setuju dengan rencana itu. Ada sebagian pihak yang berpendapat volume produk masih terlalu sedikit, sehingga tidak efisien apabila diangkut dengan kereta api, sementara jumlah penumpang, kalaupun ada, diperkirakan akan sangat sedikit. Di masa itu orang Jawa dianggap sebagai bangsa yang tidak suka bepergian jauh, sedangkan orang Eropa yang diharapkan paling-paling hanyalah para pegawai negeri.
Muncul pula perdebatan tentang peran yang sebaiknya dimainkan pemerintah dalam pengembangan perkeretaapian di Hindia Belanda. Pihak yang menentang keterlibatan langsung pemerintah berpendapat, bahwa dana untuk membangun jalan rel sebaiknya dipakai untuk hal-hal yang lebih penting dan mendesak, sebaiknya mereka yang menentang keterlibatan swasta merasa, bahwa jalan kereta api mempunyai nilai strategis, sehingga resikonya terlalu besar apabila diserahkan pada swasta. Perdebatan bahkan muncul tentang tenaga penggerak. Menteri Urusan Jajahan JC Baud, misalnya, mengusulkan pembangunan jalan rel dengan kerbau atau kuda sebagai penarik kereta.
Baru pada tahun 1862 disetujui rencana pembangunan jalan kereta api pertama di Jawa, yaitu jalur Semarang-Vorstelanden (daerah Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta yang ketika itu merupakan daerah pertanian paling produktif, tapi sekaligus juga paling sulit dijangkau), dan jalur antara Batavia (Jakarta) – Buitenzorg (Bogor), tempat kedudukan pemerintah Hindia Belanda dan daerah penghasil teh dan kopi.
Kedua jalur ini dibangun dari sebuah perusahaan swasta, yaitu Nederlandsch – Indische Spoorweg Maatschappj (NIS). Setelah diadakan berbagai persiapan termasuk bentuk konsesi yang akan diberikan, maka pada hari Jumat tanggal 7 Juni 1864 di Kota Semarang diselenggarakan upacara sebagai tanda pekerjaan pemasangan jalan rel dimulai. Sebagai puncak upacara ditandai pencangkulan tanah pertama yang dilakukan oleh JAJ Baron Sloet van den Beele (Subarkah, 1987, halaman 3). Berbagai masalah mewarnai pembangunan jalan rel ini, baik yang berupa hambatan kondisi alam yang sulit maupun masalah keuangan, silih berganti muncul.
Meski demikian pada 10 Agustus 1867 jalan kereta api pertama di Indonesia bisa diresmikan, yaitu dari Samarang sampai ke Tangoeng (sekarang Tanggung, Kabupaten Grobogan) sejauh sekitar 25 kilometer. Tapi bukan berarti kesulitan telah bisa diatasi. Bahkan tidak lama kemudian pekerjaan terpaksa dihentikan, karena Algemene Maatschappj voor Handel en Nijverheld Amsetrdam, pemegang saham utama NIS, mengalami kesulitan keuangan dan nyaris bangkrut. Pembangunan baru bisa dilanjutkan lagi setelah pemerintah turun tangan memberikan pinjaman lunak.

Stasiun pertama NIS di Semarang berada di Tambaksasi (Kemijen), bernama Stasiun Samarang di dekat Pelabuhan Semarang. Stasiun Tambaksari ini adalah stasiun ujung, atau dalam bahasa Belanda disebut kopstation. Tahun 1914 stasiun Tambaksari dibongkar untuk memungkinkan pembangunan jalan rel ke stasiun NIS yang baru di Tawang. Sebagian bangunan stasiun Tambaksari masih dipakai untuk gudang, sehingga kemudian dikenal sebagai stasiun Semarang Gudang.

Kedua jalur ini dibangun dari sebuah perusahaan swasta, yaitu Nederlandsch – Indische Spoorweg Maatschappj (NIS). Setelah diadakan berbagai persiapan termasuk bentuk konsesi yang akan diberikan, maka pada hari Jumat tanggal 7 Juni 1864 di Kota Semarang diselenggarakan upacara sebagai tanda pekerjaan pemasangan jalan rel dimulai. Sebagai puncak upacara ditandai pencangkulan tanah pertama yang dilakukan oleh JAJ Baron Sloet van den Beele (Subarkah, 1987, halaman 3). Berbagai masalah mewarnai pembangunan jalan rel ini, baik yang berupa hambatan kondisi alam yang sulit maupun masalah keuangan, silih berganti muncul.
Meski demikian pada 10 Agustus 1867 jalan kereta api pertama di Indonesia bisa diresmikan, yaitu dari Samarang sampai ke Tangoeng (sekarang Tanggung, Kabupaten Grobogan) sejauh sekitar 25 kilometer. Tapi bukan berarti kesulitan telah bisa diatasi. Bahkan tidak lama kemudian pekerjaan terpaksa dihentikan, karena Algemene Maatschappj voor Handel en Nijverheld Amsetrdam, pemegang saham utama NIS, mengalami kesulitan keuangan dan nyaris bangkrut. Pembangunan baru bisa dilanjutkan lagi setelah pemerintah turun tangan memberikan pinjaman lunak.
Stasiun pertama NIS di Semarang berada di Tambaksasi (Kemijen), bernama Stasiun Samarang di dekat Pelabuhan Semarang. Stasiun Tambaksari ini adalah stasiun ujung, atau dalam bahasa Belanda disebut kopstation. Tahun 1914 stasiun Tambaksari dibongkar untuk memungkinkan pembangunan jalan rel ke stasiun NIS yang baru di Tawang. Sebagian bangunan stasiun Tambaksari masih dipakai untuk gudang, sehingga kemudian dikenal sebagai stasiun Semarang Gudang.
Station te Semarang, het eerste station van de Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij, gebouwd in 1867 copy
Dengan berbagai masalah yang timbul, akhirnya pada 10 Februari 1870 selesailah jalur sampai ke Solo, setahun kemudian pembangunan jalan rel telah sampai ke Yogyakarta. Akhirnya, pada 21 Mei 1873 jalur Semarang-Surakarta-Yogyakarta, termasuk cabang Kedungjati-Willem I (Ambarawa) diresmikan pemakainnya. Pada tahun itu selesai pula alur Batavia-Buitenzorg.
Melihat besarnya kesulitan yang dihadapi NIS, tidak ada investor yang tertarik untuk membangun jalan kereta api. Terpaksa pemerintah terjun langsung. Pemerintah mendirikan perusahaan Staat Spoorwagen (SS). Jalur rel pertama yang di bangun oleh SS adalah antara Surabaya-Pasuruan sepanjang 115 kilometer yang diresmikan pada 16 Mei 1878.
Setelah NIS maupun SS kemudian terbukti mampu meraih laba, bermunculan belasan perusahaan-perusahaan kereta api swasta besar maupun kecil. Umumnya mereka membangun jalan rel ringan atau tramwagen yang biaya pembangunannya lebih murah. Tramwagen biasanya di bangun di sisi jalan raya. Dan karena konstruksinya yang ringan, kecepatan kereta api tidak bisa lebih dari 35 kilometer per jam. Di antara perusahaan-perusahaan tersebut yang mempunyai jaringan terpanjang adalah Semarang Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) sepanjang 417 kilometer dan Semarang Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS) sepanjang 373 kilometer. Yang terpendek adalah Poerwodadi-Goendih Stoomtram Maatschappj (PGSM) yang hanya mempunyai jaringan sepanjang 17 kilometer.
Keberhasilan swasta, NV NISM membangun jalan KA antara Samarang-Tanggung, yang kemudian pada tanggal 10 Februari 1870 dapat menghubungkan kota Semarang – Surakarta (110 kilometer), akhirnya mendorong minat investor untuk membangun jalan KA di daerah lainnya. Tidak mengherankan, kalau pertumbuhan panjang jalan rel antara 1864-1900 tumbuh dengan pesat. Kalau tahun 1867 baru 25 kilometer, tahun 1870 menjadi 110 kilometer, tahun 1880 mencapai 405 kilometer, tahun 1890 menjadi 1427 kilometer dan pada tahun 1900 menjadi 3338 kilometer.
Selain di Jawa, pembangunan rel KA juga dilakukan di Aceh (1874), Sumatera Utara (1886), Sumatera Barat (1891), (1914). Bahkan tahun 1922 di Sulawesi juga telah dibangun jalan KA sepanjang 47 kilometer antara Makasar-Takalar, yang pengoperasiannya dilakukan tanggal 1 Juli 1923. Sisanya Ujungpandang-Maros belum sempat diselesaikan. Sedangkan di Kalimantan, meskipun belum sempat dibangun, studi jalan KA rute Pontianak-Sambas (220 kilometer) sudah diselesaikan. Demikian juga di pulau Bali dan Lombok, juga pernah dilakukan studi pembangunan jalan KA.
Peta historis
Rel kereta api pertama kali diletakkan di bumi Sumatera Utara oleh Perusahaan Kereta Api Swasta Belanda yang bernama Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) di tahun 1883 yang menghubungkan Kota Medan dan Labuan (laboean) yang merupakan cikal bakal jalur kereta api Medan-Belawan.
Sejak dulunya Pelabuhan Belawan merupakan pelabuhan utama Sumatera Utara untuk membawa hasil bumi seperti tembakau ke luar negeri. Dulu, Labuan merupakan sentral keramaian, bahkan sebelum kota Medan berdiri. Pelabuhan Labuan di Sungai Deli inilah yang menjadi pusat perdagangan, transportasi dan bongkar muat barang perkebunan (khususnya tembakau) di Sumatera bagian Timur, akan tetapi karena Labuan seringkali kebanjiran dan tidak mampu mengakomodasi kapal-kapal uap besar maka transportasi usaha perkebunan mulai dikonsentrasikan ke Pelabuhan Belawan
Sejak dulunya Pelabuhan Belawan merupakan pelabuhan utama Sumatera Utara untuk membawa hasil bumi seperti tembakau ke luar negeri. Dulu, Labuan merupakan sentral keramaian, bahkan sebelum kota Medan berdiri. Pelabuhan Labuan di Sungai Deli inilah yang menjadi pusat perdagangan, transportasi dan bongkar muat barang perkebunan (khususnya tembakau) di Sumatera bagian Timur, akan tetapi karena Labuan seringkali kebanjiran dan tidak mampu mengakomodasi kapal-kapal uap besar maka transportasi usaha perkebunan mulai dikonsentrasikan ke Pelabuhan Belawan.
Jalur kereta api Medan-Belawan yang berjarak sekitar 21 kilometer, pada saat itu memiliki beberapa stasiun, yaitu Stasiun Medan – Gloegoer – Poeloebraijan – Mabar – Titi Papan – Kampong Besar – Laboean – Belawan – Pasar Belawan – dan Pelabuhan Belawan (Oceaanhaven I – II dan III).
Akan tetapi seiring perkembangan waktu, bertambahnya transportasi jalan raya dan berkurangnya tingkat okupansi penumpang, maka pada saat ini Jalur Medan-Belawan tidak lagi digunakan untuk mengangkut penumpang, melainkan hanya digunakan hanya untuk jalur KA Barang saja, yakni KA Barang pengangkut CPO (Crude Palm Oil), PKO (Palm Kernel Oil), getah karet (lateks), BBM dan pupuk. Dulu, saking ramainya jalur Medan-Belawan ini dilayani oleh double track (triple track dari Medan-Pulubrayan dan double track dari Pulubrayan-Belawan). Sekarang sisa satu track, tinggal bekas-bekasnya yang berserakan di beberapa lokasi. Stasiun KA yang saat ini masih digunakan pun tidak lagi sebanyak pada zaman DSM masih berjaya.
Sampai dengan tahun 1939, panjang jalan KA di Indonesia mencapai 6811 kilometer. Tetapi, pada tahun 1950, panjangnya berkurang menjadi 5910 kilometer, kurang lebih 901 kilometer raib, yang diperkirakan karena dibongkar semasa pemerintahan Jepang dan diangkut ke Burma untuk pembangunan jalan KA di sana.
Jenis jalan rel KA di Indonesia dibedakan dengan lebar sepur 1067 milimeter; 750 milimeter (di Aceh) dan 600 milimeter di beberapa lintas cabang dan tram kota. Jalan rel yang dibongkar semasa pemerintahan Jepang (1942-1943) sepanjang 473 kilometer, sedangkan jalan KA yang dibangun semasa pendudukan Jepang adalah 83 kilometer antara Bayah – Cikara dan 220 kilometer antara Muaro-Pekanbaru.
Ironisnya, dengan teknologi yang seadanya, jalan KA Muaro – Pekanbaru diprogramkan selesai pembangunannya selama 15 bulan yang mempekerjakan 27500 orang, 25000 di antaranya adalah Romusha. Jalan yang melintasi rawa-rawa, perbukitan, serta sungai yang deras arusnya ini, banyak menelan korban yang makamnya bertebaran sepanjang Muaro-Pekanbaru.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, karyawan KA yang tergabung dalam “Angkatan Moeda Kereta Api” (AMKA) mengambil alih kekuasaan perkeretaapian dari pihak Jepang. Peristiwa bersejarah yang terjadi pada tanggal 28 September 1945, pembacaan pernyataan sikap oleh Ismangil dan sejumlah anggota AMKA lainnya, menegaskan mulai tanggal 28 September 1945 kekuasaan perkeretaapian berada ditangan bangsa Indonesia. Orang Jepang tidak diperkenankan lagi campur tangan dengan urusan perkeretaapian di Indonesia.
Inilah yang melandasi ditetapkannya 28 September 1945 sebagai Hari Kereta Api di Indonesia, serta dibentuknya Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI).
Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) namanya diubah sejak tanggal 15 September 1971 menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Pada tanggal 2 Januari 1991, PJKA diubah menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka), dan sejak tanggal 1 Juni 1999 menjadi PT Kereta Api Indonesia (Persero).
Meskipun jalur Semarang-Tanggung, baru diresmikan pada 10 Agustus 1867, pada tahun 1863, NIS telah memesan dua buah lokomotif dari Pabrik Borsig di Berlin, Jerman. Kedua lokomotif itu dirancang untuk nantinya melayani jalur antara Kedungjati dan Willem I (Ambarawa) yang di beberapa tempat mempunyai kemiringan sampai 2,8 persen.
Ketika itu lokomotif buatan Borsig banyak dipakai oleh perusahaan-perusahaan kereta api di Belanda. Setahun kemudian dua lokomotif dikirim ke Semarang, tapi baru pada 22 Juni 1865 mulai dioperasikan, masing-masing dengan nomor seri NIS 1 dan NIS 2. Karena jalur kereta api pada saat itu baru dalam tahap pembangunan, NIS 1 dan NIS 2 dimanfaatkan untuk mempercepat pemasangan rel, sekaligus untuk melatih petugas yang akan mengoperasikan dan memelihara lokomotif-lokomotif tersebut.
Sementara itu kedatangan lokomotif uap tersebut disambut masyarakat dengan rasa kagum tapi sekaligus tajut. Seperti dikatakan Liem Thian Joe dalam buku ’Riwayat Semarang’ (1933), ‘Publiek Priboemi dan Tionghoa pertjaja, itoe kepala spoor didjalanken dengan kekoeatan …….. setan’. Pada akhir 1866, empat lokomotif buatan Beyer Peacock, Manchester, Inggris itu tiba di Semarang dan diberi nomor seri NIS 3-6. selain nomor seri keempat lokomotif itu mendapatkan nama, masing-masing ’JP de Bordes’ (nama seorang pejabat NIS), ’Merapi’, ’Merbaboe’ dan ’Lawoe’. Nama-nama tersebut pada satu sisi ditulis dalam aksara latin, pada sisi lain dalam aksara Jawa. Namun penggunaan keempat lokmotif secara resmi baru pada 10 Agustus 1867, bersamaan dengan pembukaan jalur Semarang-Tanggung.

Sejarah Panjang Kebun Binatang Ragunan, Kebun Binatang pertama di Indonesia


TAMAN Margasatwa Ragunan memiliki riwayat yang sangat panjang. Kebun binatang pertama di Indonesia ini usianya mencapai 150 tahun. Dengan ratusan jenis koleksi satwa, Taman Margasatwa Ragunan tak hanya menjadi pilihan wisata murah dan edukatif bagi warga, tetapi juga menjadi pusat penelitian dan pelestarian satwa.

Taman Margasatwa Ragunan (TMR) terletak di Jalan Harsono RM 1 Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kebun binatang yang didirikan pada 19 September 1864 itu hampir tak pernah sepi pengunjung, terlebih pada akhir pekan atau hari libur nasional. Sepanjang 2014, tercatat 4,3 juta pengunjung datang ke TMR. Mereka berasal dari seluruh daerah di Tanah Air.

Pasangan Amdani (60) dan Yuani (58), dengan menggunakan bus Transjakarta dari dekat rumah mereka di Pisangan Timur, Jakarta Timur, berkunjung ke TMR, Sabtu (21/3/2015) lalu.

Bagi Amdani, TMR merupakan tempat wisata yang mudah dijangkau, relatif murah, dan menarik karena keberagaman flora dan fauna. ”Jalan-jalan di kebun binatang menyenangkan dan bisa menghilangkan stres,” kata karyawan pabrik itu.

Istrinya, Yuani, menuturkan, di TMR dia bisa melihat langsung macan, jerapah, gajah, zebra, dan banyak hewan menarik lainnya. ”Jadi, tidak hanya menonton di televisi. Di sini, kami melihat dan mendengar suara satwa,” kata ibu satu anak itu.

Ayu (27), warga Cilandak, Jakarta Selatan, mengunjungi TMR bersama suami dan dua anaknya. ”Saya sengaja mengajak anak-anak melihat satwa agar belajar menyayangi makhluk hidup,” katanya.

Inspirasi Raden Saleh

TMR awalnya bernama Planten en Dierentuin (Tanaman dan Kebun Binatang). Kebun binatang itu pada mulanya didirikan di atas lahan seluas 10 hektar milik pelukis ternama, Raden Saleh, di Jalan Cikini Raya Nomor 73, Jakarta Pusat.

Pelaksana Petisi Raden Saleh 2005 dan 2015, Dayan D Layuk Allo, menuturkan, ide pendirian itu diperoleh Raden Saleh sewaktu menempuh pendidikan di London, Inggris. ”Raden Saleh cinta pada hewan dan tumbuhan. Dia tak hanya memelihara dan merawat (binatang), tetapi juga meneliti. Mereka sumber inspirasinya saat melukis,” katanya.

KOMPAS/RADITYA HELABUMITaman Margasatwa Ragunan
Saat itu, kebun binatang dikelola Perhimpunan Penyayang Flora dan Fauna Batavia (Culturule Vereniging Planten en Dierentuin at Batavia). Tahun 1949, namanya menjadi Kebun Binatang Cikini. Seiring perkembangan Kota Jakarta, Cikini tak cocok lagi menjadi lokasi kebun binatang. Disiapkanlah lahan seluas 30 hektar di daerah Ragunan sebagai lokasi baru.

Pada tahun 1964, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memindahkan satwa koleksi Kebun Binatang Cikini ke Ragunan. Pemindahan itu dipimpin dokter hewan THEW Umboh. Taman Margasatwa Ragunan diresmikan pada 22 Desember 1966 oleh Gubernur DKI Jakarta waktu itu Ali Sadikin.

Kepala Hubungan Masyarakat TMR Wahyudi Bambang mengatakan, tak ada data pasti berapa jumlah satwa yang dipindahkan saat itu. ”Diperkirakan sekitar 500 ekor,” katanya.

Saat ini, TMR berada di atas lahan seluas 174 hektar. Beragam jenis hewan ada di dalam kandang yang dikelompokkan sesuai jenis dan habitat.

TMR memiliki fungsi konservasi, edukasi, penelitian, rekreasi alam, dan daerah resapan air. Selain kaya akan keanekaragaman satwa, kebun binatang ini juga memiliki lima danau buatan dan hutan alami untuk mencegah banjir dan jadi paru-paru kota.

Kesejahteraan satwa

Untuk memastikan kesejahteraan satwa, TMR menerapkan libur satwa setiap hari Senin. ”Ini membuat mereka senang, terbebas dari stres dan rasa takut,” kata Bambang.

Namun, menurut pemimpin komunitas perlindungan satwa Animal Defenders Doni Herdaru Tona, seperti dikutip Kompas, 22 September 2014, selama ini kesadaran masyarakat untuk melindungi satwa masih rendah. ”Pengunjung masih sering memberikan makanan yang tak sesuai kebutuhan satwa. Misalnya, kucing besar diberi cokelat, padahal makanan itu bisa mengganggu jantung hewan tersebut,” ujar Doni.

Doni meminta pengelola TMR terus meningkatkan pemahaman ke masyarakat untuk melindungi satwa. Hal ini sesuai fungsi utama kebun binatang sebagai sarana edukasi masyarakat dan perlindungan satwa.

KOMPAS/HELMI KODHJATAnggota DPR dari Komisi V, Jumat (7/12/1973), meninjau Taman Margasatwa Ragunan di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Rombongan anggota Dewan tersebut sedang menonton orangutan, salah satu binatang khas Indonesia, yang telah menjadi salah satu ikon TMR pada masa itu.
Permintaan Doni menjadi pekerjaan rumah terbesar bagi pengelola TMR. Apalagi, tahun ini usia TMR menginjak 150 tahun dan diproyeksikan menjadi kebun binatang modern berkelas internasional.

Kepala TMR Marsawitri Gumay mengatakan, rencana pengembangan tengah disusun untuk menjadikan kebun binatang itu tempat pelestarian satwa endemis asli Indonesia.

Menurut Bambang, kebun binatang modern harus menerapkan konsep kandang terbuka yang dibuat menyerupai habitat asli satwa. Penentuan zonasi kandang, seperti zona Afrika, Asia, peralihan, karnivor, dan herbivor, juga diperlukan.

Untuk mendukung pembangunan TMR, kini berbagai perubahan mulai dilakukan, misalnya, dengan penerapan sistem tiket elektronik. Perubahan itu untuk menghemat kertas, efisiensi pekerja, dan transparansi anggaran.

TMR terus berkembang menyesuaikan zaman, mewarnai perjalanan kota ini.... (Denty Piawai Nastitie)